Puslitbang Gizi DepKes menemukan sebuah konsep bagaimana menanggulangi problem kekurangan gizi pada balita. Puslitbang Gizi, Bogor , menyebutkan ada enam tahap dalam konsep yang diujicobakan melalui sebuah penelitian di Kabupaten Pandeglang, Banten.
Pertama, pengorganisasian masyarakat. Kedua, pelatihan. Ketiga, penimbangan balita. Keempat, penyuluhan gizi. Kelima, kontribusi makanan tambahan. Dan keenam, penggalangan dana.
Tujuan dari penelitian itu ialah untuk menguji konsep tersebut, sehingga diperlukan sanggup diperoleh suatu model pemberdayaan masyarakat untuk menanggulangi KEP (Kurang Energi Protein) pada balita. Kemudian sanggup diimplementasikan ke kawasan lainnya.
Uji coba dilakukan di enam desa dengan tiga kecamatan. Masing-masing desa diwakili oleh satu posyandu sebagai lokasi penelitian. Sedangkan sampel diambil oleh tokoh masyarakat yang menjadi pengurus pengentasan KEP, anak balita yang menderita KEP, dan ibu balita yang menderita KEP.
Sesuai dengan tahapan dalam konsep, awalnya dibuat organisasi pengurus pengentasan KEP pada balita di enam desa tersebut. Pengurus di masing-masing desa terdiri dari lima orang yang mewakili beberapa unsur dalam masyarakat, mulai dari tokoh agama hingga pamong desa. Kemudian dilakukan training kepada para pengurus tersebut, yang mencakup pengetahuan gizi, penyuluhan gizi, penyelenggaraan PMT (Pemberian Makanan Tambahan), dan bagaimana cara menggalang dana untuk pengadaan PMT.
Setelah para pengurus terjun ke lapangan, dilakukanlah penilaian hasil. Caranya dengan menimbang anak balita secara berkesinambungan setiap bulannya, selama tiga bulan. Pada awal penelitian ditemukan 87 anak balita yang menderita KEP. Kemudian semua anak balita yang menjadi sampel penelitian ini diberi makanan aksesori setiap harinya, selama tiga bulan.
Makanan aksesori dibuat oleh pengurus secara bergantian dan diberikan kepada anak serta dimakannya di rumah kader. Bila ada balita tidak datang, makanan tersebut diantar ke rumah balita yang bersangkutan oleh kader. Makanan aksesori tersebut sanggup berupa bubur, kolak atau nasi dengan lauk-pauk, atau kue-kue. Yang penting asupan energi dan proteinnya per porsi mencapai 300-400 kalori dan 3.5-10 gram protein.
Pelaksanaannya sendiri bervariasi. Ada desa yang sanggup menyelenggarakan 10 hari berturut-turut dan dilanjutkan dengan tiga hari sekali. Ada juga yang menyelenggarakan dua hari sekali. Sedangkan yang lainnya, dua kali seminggu dan sekali seminggu.
Ketika kontribusi makanan aksesori dilakukan, pengurus harus memperlihatkan pula penyuluhan gizi kepada ibu balita biar ada kesinambungan sehabis agenda ini selesai.
Dari hasil penelitian, disimpulkan bahwa konsep ini sanggup meningkatkan status gizi balita dengan tingkat keberhasilan 50%, bahkan lebih. Buktinya, pada awal penelitian terdapat 90.6% anak dengan status gizi kurang dan 9.4% anak dengan status gizi buruk. Pada selesai penelitian tidak ada lagi anak balita dengan status gizi buruk, sedangkan balita dengan status gizi kurang turun menjadi 45.3%.
Sumber http://kesehatan.blogspot.co.id/
Pertama, pengorganisasian masyarakat. Kedua, pelatihan. Ketiga, penimbangan balita. Keempat, penyuluhan gizi. Kelima, kontribusi makanan tambahan. Dan keenam, penggalangan dana.
Tujuan dari penelitian itu ialah untuk menguji konsep tersebut, sehingga diperlukan sanggup diperoleh suatu model pemberdayaan masyarakat untuk menanggulangi KEP (Kurang Energi Protein) pada balita. Kemudian sanggup diimplementasikan ke kawasan lainnya.
Uji coba dilakukan di enam desa dengan tiga kecamatan. Masing-masing desa diwakili oleh satu posyandu sebagai lokasi penelitian. Sedangkan sampel diambil oleh tokoh masyarakat yang menjadi pengurus pengentasan KEP, anak balita yang menderita KEP, dan ibu balita yang menderita KEP.
Sesuai dengan tahapan dalam konsep, awalnya dibuat organisasi pengurus pengentasan KEP pada balita di enam desa tersebut. Pengurus di masing-masing desa terdiri dari lima orang yang mewakili beberapa unsur dalam masyarakat, mulai dari tokoh agama hingga pamong desa. Kemudian dilakukan training kepada para pengurus tersebut, yang mencakup pengetahuan gizi, penyuluhan gizi, penyelenggaraan PMT (Pemberian Makanan Tambahan), dan bagaimana cara menggalang dana untuk pengadaan PMT.
Setelah para pengurus terjun ke lapangan, dilakukanlah penilaian hasil. Caranya dengan menimbang anak balita secara berkesinambungan setiap bulannya, selama tiga bulan. Pada awal penelitian ditemukan 87 anak balita yang menderita KEP. Kemudian semua anak balita yang menjadi sampel penelitian ini diberi makanan aksesori setiap harinya, selama tiga bulan.
Makanan aksesori dibuat oleh pengurus secara bergantian dan diberikan kepada anak serta dimakannya di rumah kader. Bila ada balita tidak datang, makanan tersebut diantar ke rumah balita yang bersangkutan oleh kader. Makanan aksesori tersebut sanggup berupa bubur, kolak atau nasi dengan lauk-pauk, atau kue-kue. Yang penting asupan energi dan proteinnya per porsi mencapai 300-400 kalori dan 3.5-10 gram protein.
Pelaksanaannya sendiri bervariasi. Ada desa yang sanggup menyelenggarakan 10 hari berturut-turut dan dilanjutkan dengan tiga hari sekali. Ada juga yang menyelenggarakan dua hari sekali. Sedangkan yang lainnya, dua kali seminggu dan sekali seminggu.
Ketika kontribusi makanan aksesori dilakukan, pengurus harus memperlihatkan pula penyuluhan gizi kepada ibu balita biar ada kesinambungan sehabis agenda ini selesai.
Dari hasil penelitian, disimpulkan bahwa konsep ini sanggup meningkatkan status gizi balita dengan tingkat keberhasilan 50%, bahkan lebih. Buktinya, pada awal penelitian terdapat 90.6% anak dengan status gizi kurang dan 9.4% anak dengan status gizi buruk. Pada selesai penelitian tidak ada lagi anak balita dengan status gizi buruk, sedangkan balita dengan status gizi kurang turun menjadi 45.3%.
Advertisement